Sebuah Catatan Tentang Trauma Masa Kecil - Diary Ayuk Hartini
...

Sebuah Catatan Tentang Trauma Masa Kecil

Sebuah Catatan Tentang Trauma Masa Kecil

 


 

“Ajeng, main yuk!” teriak salah satu teman nya dari luar.

Ajeng bergegas keluar setelah mendengar suara itu, mengikuti teman-teman nya. Namun semua teman-teman nya bersepeda dan Ajeng yang tak punya sepeda hanya berlari mengikuti mereka.

Tiba di lokasi, mereka bermain lompat tali, namun ada yang aneh. Ajeng hanya memutar-mutar tali nya tanpa diberi kesempatan untuk melompati tali tersebut. Saat bertanya kapan giliran nya, jawaban yang didapat hanya satu kata, sebentar.

Ketika teman-teman nya lelah bermain, permainan lompat tali diakhiri tanpa mempedulikan perasaan Ajeng sama sekali.

Permainan lompat tali diakhiri, berganti dengan permainan petak umpet. Kali ini ia tak mau menghitung, ia ingin ikut bermain dengan bersembunyi dan ditemukan.

Namun yang terjadi, ia tetap bersembunyi hingga berjam-jam tanpa dicari, ia kemudian keluar dari persembunyian nya dan sadar bahwa teman-teman nya telah meninggalkan nya.

Ajeng pulang dengan air mata berlinang dan perasaan hancur. Dada nya meletup-letup serupa dada yang berdebar setelah berlari kencang seolah ingin meledak.

Ia menumpahkan air mata nya di bawah bantal, berharap ibu nya tak mendengar nya. Ia takut dimarahi karena pulang sepetang ini apalagi tadi pergi tanpa pamit. Ibu nya tetap bisa mendengar tangisan nya dan menghampiri nya seraya berkata,

“Kenapa nangis? Diapain sama temen-temen mu? Palingan Cuma guyon, gak usah cengeng. Sana mandi, sudah jam segini!”

Ibu nya tak tau sebab Ajeng menangis dan hanya menganggap itu lelucon anak-anak. Namun bagi Ajeng, ini suatu peristiwa yang teramat menyakiti hati nya. Terlebih, hal seperti ini sering terjadi, ia sering di-bully teman-teman masa kecil nya dengan dalih bercanda, diolok ‘keriting’, ‘hitam’, ‘cengeng’  dan lain sebagai nya karena fisik nya yang tak sesuai standar kecantikan pada umum nya.

Suatu ketika Bapak nya pergi untuk keperluan kerja dan hampir 2 minggu belum juga pulang tanpa kabar.

Teman-teman sekolah nya kembali berulah dengan bertanya,

“Bapakmu kemana? Kok gak pulang-pulang?”

“Bapakku kerja di jauh, cari uang,” jawab Ajeng dengan polos nya.

“di jauh dimana? Kalau gak pulang lagi gimana? Kalau bapak mu punya ibu baru lagi gimana?”

“Bapak ku kerja, bukan nikah lagi!”

“halaaah, kamu aja yang gak tau paling, bapak mu lho kecanthol wong wedok liyo

Entahlah apa yang salah dengan teman-teman Ajeng, mengapa kata-kata sejahat itu bisa keluar dari mereka usia sekolah dasar? Apakah dari hasil gossip ibu-ibu mereka?

Entahlah. Yang pasti, hati Ajeng kembali remuk. Ia berlari ke dalam kelas dan membenamkan wajah nya di meja, menangis sesenggukan takut jika ucapan teman nya ternyata benar.

Ibu guru yang tau, sudah menyuruh teman-teman nya minta maaf tapi tetap saja, ada kata yang tak ia suka keluar dari guru nya.

“Sudah, jangan nangis. Teman mu cuma bercanda, gitu aja kok marah.”

-

Sedikit demi sedikit hati Ajeng teriris, ia masih ingat betul dimana ia memendam perasaan tak terima kala teman nya yang merupakan anak guru itu yang dipilih untuk lomba cerdas cermat, harus nya Ajeng. Bagaimana tidak, saat lomba teman nya itu bahkan sudah kalah di babak awal dengan tak bisa menjawab pertanyaan sesederhana: Apa nama senjata khas suku Aborigin?.

Jika Ajeng yang dikirim dalam lomba itu, setidak nya meski tak menang ia bisa menjawab pertanyaan hingga perempat final, pikir nya.

Kolusi sudah ada sejak ia kecil, teman-teman anak guru yang ‘terlihat cantik-tampan-pintar’ yang dipilih. Ajeng, meski mumpuni tapi tak terlalu menonjol.

-

Bertahun-tahun kemudian, Ajeng tumbuh dengan hati yang sensitif. Perasaan nya terkikis, membentuk hati yang kecil dan rapuh.

Tak menutup kemungkinan, banyak Ajeng-Ajeng lain yang tumbuh dengan luka dan trauma masa lalu yang tak terobati seperti ini. Perasaan yang hanya dipendam, membuat luka tetap hidup dan bisa kambuh sewaktu-waktu dengan pancingan ‘air garam’ alias sikap dan omongan lingkungan yang tak tau akhlak.

Beruntung bagi yang bisa mengendalikan. Yang tak bisa? Tak jarang berujung pada narkoba, miras, bahkan bunuh diri kala perasaan sakit yang dirasa sudah tak bisa dilampiaskan dan sudah tak tertahankan lagi.

-

Latar belakang tiap orang berbeda, masa lalu tiap orang juga berbeda. Jika kau mendapati seseorang yang selera humor nya tak sama dengan mu, jangan paksa ia untuk melebur dengan mu dengan mengatakan:

“ah… gitu aja ngambek,”

“hal kayak gitu gak usah dipikirin, gak usah lebay, lah!”

“biasa aja keleus becanca doang, gitu aja marah,”

dan hal serupa berbagai versi lain nya.

Memang benar konsep “words can’t hurt you if you don’t let them to.” Tapi masalah nya, manusia bukan mesin yang tak bisa merasakan apa-apa. Tiap manusia memiliki perasaan yang beragam. Sedih, senang, marah, kecewa, takut, marah, dan lain sebagai nya.

Seharus nya, candaan mendatangkan tawa pada kedua belah pihak. Yang melontarkan dan yang menerima sama-sama senang. Bukan hanya salah satu nya.

Semoga kita bisa mengontrol emosi lebih baik lagi agar tak mudah terbawa perasaan, juga semoga kita bukan termasuk bagian dari mereka yang dengan mudah melontarkan candaan kepada orang lain, menyatikiti perasaan nya dan dengan enteng nya berkata, “gitu doang marah.”

 

Salam.

 

Ayuk Hartini,

Bukan psikolog namun merasakan betul bagaimana pengalaman masa lalu mempengaruhi dan membentuk diri hingga saat ini.



Catatan: tulisan ini sudah diterbitkan di Laman Facebook Komunitas Bisa Menulis, diunggah ulang di sini karena FB KBM tidak bisa diakses lagi.



Belum ada Komentar untuk "Sebuah Catatan Tentang Trauma Masa Kecil"

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel