Sebuah Catatan Tentang Trauma Masa Kecil
“Ajeng, main yuk!” teriak salah satu teman nya dari luar.
Ajeng bergegas keluar setelah mendengar suara itu, mengikuti
teman-teman nya. Namun semua teman-teman nya bersepeda dan Ajeng yang tak punya
sepeda hanya berlari mengikuti mereka.
Tiba di lokasi, mereka bermain lompat tali, namun ada yang
aneh. Ajeng hanya memutar-mutar tali nya tanpa diberi kesempatan untuk
melompati tali tersebut. Saat bertanya kapan giliran nya, jawaban yang didapat
hanya satu kata, sebentar.
Ketika teman-teman nya lelah bermain, permainan lompat tali
diakhiri tanpa mempedulikan perasaan Ajeng sama sekali.
Permainan lompat tali diakhiri, berganti dengan permainan
petak umpet. Kali ini ia tak mau menghitung, ia ingin ikut bermain dengan
bersembunyi dan ditemukan.
Namun yang terjadi, ia tetap bersembunyi hingga berjam-jam
tanpa dicari, ia kemudian keluar dari persembunyian nya dan sadar bahwa
teman-teman nya telah meninggalkan nya.
Ajeng pulang dengan air mata berlinang dan perasaan hancur.
Dada nya meletup-letup serupa dada yang berdebar setelah berlari kencang seolah
ingin meledak.
Ia menumpahkan air mata nya di bawah bantal, berharap ibu
nya tak mendengar nya. Ia takut dimarahi karena pulang sepetang ini apalagi
tadi pergi tanpa pamit. Ibu nya tetap bisa mendengar tangisan nya dan
menghampiri nya seraya berkata,
“Kenapa nangis? Diapain sama temen-temen mu? Palingan Cuma guyon, gak usah cengeng. Sana mandi,
sudah jam segini!”
Ibu nya tak tau sebab Ajeng menangis dan hanya menganggap
itu lelucon anak-anak. Namun bagi Ajeng, ini suatu peristiwa yang teramat
menyakiti hati nya. Terlebih, hal seperti ini sering terjadi, ia sering
di-bully teman-teman masa kecil nya dengan dalih bercanda, diolok ‘keriting’, ‘hitam’,
‘cengeng’ dan lain sebagai nya karena
fisik nya yang tak sesuai standar kecantikan pada umum nya.
Suatu ketika Bapak nya pergi untuk keperluan kerja dan hampir
2 minggu belum juga pulang tanpa kabar.
Teman-teman sekolah nya kembali berulah dengan bertanya,
“Bapakmu kemana? Kok gak pulang-pulang?”
“Bapakku kerja di jauh, cari uang,” jawab Ajeng dengan polos
nya.
“di jauh dimana? Kalau gak pulang lagi gimana? Kalau bapak
mu punya ibu baru lagi gimana?”
“Bapak ku kerja, bukan nikah lagi!”
“halaaah, kamu aja yang gak tau paling, bapak mu lho kecanthol wong wedok liyo”
Entahlah apa yang salah dengan teman-teman Ajeng, mengapa
kata-kata sejahat itu bisa keluar dari mereka usia sekolah dasar? Apakah dari
hasil gossip ibu-ibu mereka?
Entahlah. Yang pasti, hati Ajeng kembali remuk. Ia berlari
ke dalam kelas dan membenamkan wajah nya di meja, menangis sesenggukan takut
jika ucapan teman nya ternyata benar.
Ibu guru yang tau, sudah menyuruh teman-teman nya minta maaf
tapi tetap saja, ada kata yang tak ia suka keluar dari guru nya.
“Sudah, jangan nangis. Teman mu cuma bercanda, gitu aja kok
marah.”
-
Sedikit demi sedikit hati Ajeng teriris, ia masih ingat
betul dimana ia memendam perasaan tak terima kala teman nya yang merupakan anak
guru itu yang dipilih untuk lomba cerdas cermat, harus nya Ajeng. Bagaimana
tidak, saat lomba teman nya itu bahkan sudah kalah di babak awal dengan tak
bisa menjawab pertanyaan sesederhana: Apa nama senjata khas suku Aborigin?.
Jika Ajeng yang dikirim dalam lomba itu, setidak nya meski
tak menang ia bisa menjawab pertanyaan hingga perempat final, pikir nya.
Kolusi sudah ada sejak ia kecil, teman-teman anak guru yang
‘terlihat cantik-tampan-pintar’ yang dipilih. Ajeng, meski mumpuni tapi tak
terlalu menonjol.
-
Bertahun-tahun kemudian, Ajeng tumbuh dengan hati yang
sensitif. Perasaan nya terkikis, membentuk hati yang kecil dan rapuh.
Tak menutup kemungkinan, banyak Ajeng-Ajeng lain yang tumbuh
dengan luka dan trauma masa lalu yang tak terobati seperti ini. Perasaan yang
hanya dipendam, membuat luka tetap hidup dan bisa kambuh sewaktu-waktu dengan
pancingan ‘air garam’ alias sikap dan omongan lingkungan yang tak tau akhlak.
Beruntung bagi yang bisa mengendalikan. Yang tak bisa? Tak
jarang berujung pada narkoba, miras, bahkan bunuh diri kala perasaan sakit yang
dirasa sudah tak bisa dilampiaskan dan sudah tak tertahankan lagi.
-
Latar belakang tiap orang berbeda, masa lalu tiap orang juga
berbeda. Jika kau mendapati seseorang yang selera humor nya tak sama dengan mu,
jangan paksa ia untuk melebur dengan mu dengan mengatakan:
“ah… gitu aja ngambek,”
“hal kayak gitu gak usah dipikirin, gak usah lebay, lah!”
“biasa aja keleus becanca doang, gitu aja marah,”
dan hal serupa berbagai versi lain nya.
Memang benar konsep “words can’t hurt you if you don’t let
them to.” Tapi masalah nya, manusia bukan mesin yang tak bisa merasakan
apa-apa. Tiap manusia memiliki perasaan yang beragam. Sedih, senang, marah,
kecewa, takut, marah, dan lain sebagai nya.
Seharus nya, candaan mendatangkan tawa pada kedua belah
pihak. Yang melontarkan dan yang menerima sama-sama senang. Bukan hanya salah
satu nya.
Semoga kita bisa mengontrol emosi lebih baik lagi agar tak
mudah terbawa perasaan, juga semoga kita bukan termasuk bagian dari mereka yang
dengan mudah melontarkan candaan kepada orang lain, menyatikiti perasaan nya
dan dengan enteng nya berkata, “gitu doang marah.”
Salam.
Ayuk Hartini,
Bukan psikolog namun merasakan betul bagaimana pengalaman
masa lalu mempengaruhi dan membentuk diri hingga saat ini.
Catatan: tulisan ini sudah diterbitkan di Laman Facebook Komunitas Bisa Menulis, diunggah ulang di sini karena FB KBM tidak bisa diakses lagi.
Belum ada Komentar untuk "Sebuah Catatan Tentang Trauma Masa Kecil"
Posting Komentar