Selamat Tinggal, Sesal
Pandanganku tertuju pada sekumpulan
awan berarak menjadi sekumpulan kenangan tentangmu. Aku bersama mereka, bersama
kumpulan awan yang menggumpal yang sebentar lagi akan pecah menghujani rindu
yang mengering semenjak kepergianmu. Atau lebih tepatnya, aku yang memilih
untuk pergi.
Pernah ada masa ketika tawaku
pecah bersama hujan yang turun memekarkan bunga-bunga di binar matamu. Di elok
lekuk tubuhmu aku menanam bahagia, yang kupupuk dengan doa-doa agar tumbuh
segera setelah hujan pergi berganti pelangi. Lalu kita menari, membelah
genangan air di ceruk tanah dan merasakan sejuk angin yang membalut raga kita
di antara lampu-lampu taman. Kemudian hujan berhenti, segera pergi setelah
gagal membuat kita menggigil. Kau dekap tubuhku erat, mata kita bertemu, sangat
dalam, kulihat diriku ada di dalam matamu, membias, menampakkan keberadaanku di
dalam relung jiwamu. Bibir kita mengucap doa dan janji, untuk tak pergi, tak saling
menyakiti, walau apapun yang terjadi. Hingga petir mencibir, menyudahi doa dan janjji
kita sebelum sempat mengucap amin.
Rasanya baru hari ini kita menari
mengucap janji tak saling menyakiti, baru hari ini, sebelum sempat aku
menngeringkan bekas anak-anak hujan yang dilahirkan kebahagiaan. Aku masih
basah, kau masih basah. Tapi basahmu tak lagi atas keriangan hujan yang
menyejukkan, melainkan tangis yang tumpah atas segala salah dan amarah. Apa arti
sumpah serapah jika secepat ini kau menyerah. Ketiadaanku sebentar, menghadirkan
tawa lain di bibirmu. Bukan lagi karenaku. Aku menyesal mengutuk petir yang
hadir sebelum doa kuamini. Doa dan janji itu tak beralamat langsung kepada
Tuhan, mungkin mereka mati bersama segelintir anyelir yang tak lagi tumbuh di
taman kota. Mati sebelum diamini.
Sebut aku pengingkar janji karena
memilih pergi, tapi bukankah kau juga mengingkari janji untuk tak saling
menyakiti? Aku lelaki, tak berarti aku tak bisa sakit hati. Harga diri bagiku
adalah harga mati. Ragaku tegak berdiri meski hatiku telah mati. Aku dibunuh gemuruh
cemburu, ditikam tajam rasa malu. Dengan atau tanpaku, kau telah memilih. Aku harus
pergi. Entahlah, mungkin aku akan kembali suatu hari nanti, tapi tidak untukmu,
tidak untuk siapapun. Selamat tinggal, sesal.
#PeopleAroundUs Day 13.
>.<
BalasHapus(y)
:)
BalasHapus