Stay Strong, Peet!
Let’s just call her
Peet instead of her real name.
Saat ribuan pasang kaki menari di bawah sinar mentari, dia
terlihat asyik duduk menyendiri sambil memegang dan memainkan game watch hadiah dari ayahnya malam
tadi. Usianya sudah
sepuluh, tapi jangan salahkan ia jika masih belum mengeluarkan sepatah katapun
bahkan ketika merasa sakit atau kelelahan. Dunia menyebutnya kesulitan
berkomunikasi, keluarganya menyebutnya bahasa kasih sayang, Karena memang hanya
yang mengerti kasih sayanglah yang dapat berkomuikasi dengannya. Tidak, ini bukan kekurangan, tapi kelebihan yang tidak bisa dibaca oleh semua orang.
Hari minggu itu, aku menemaninya dan keluarganya melihat
pentas lumba-lumba di kota. Di antara ribuan tepuk tangan dan riuh penonton menyambut
lumba-lumba melompati lingkaran dengan indah, Peet tak bersuara sedikitpun. Bukan karena tidak
suka, aku yakin ia mempunyai cara pandang yang berbeda. Mungkin terselip
keinginannya untuk turut berenang bersama lumba-lumba, merasakan sejuk air di
seluruh tubuhnya, melupakan segala tatapan panas dunia kepadanya. Atau mungkin,
ia merasakan kesedihan di balik tiap lompatan lumba-lumba, yang mampu menjemput
makanan hanya jika mereka telah membuat penonton senang. Atau, merasakan keterbatasan
lumba-lumba di kolam buatan yang sempit saat seharusnya mereka dapat tertawa
lepas, berenang tanpa batas di laut lepas. Seperti itu pula seharusnya Peet. Tapi
dunia tak sepenuhnya bisa menerimanya, maka dari itu ia menciptakan dunianya
sendiri, yang tidak semua orang mengerti, dan tak harus dimengerti.
Ia tak pernah menangis, mungkin ia kecewa, tapi ia tak pernah
menyalahkan Tuhan. Apalagi menyalahkan ibu yang melahirkannya dalam keadaannya
seperti ini. Bahagianya terpancar saat menyanyikan nada-nada kesukaannya. Menyanyikan
nada pa-pi-po-pa-pi-po berulang kali
sambil berputar-putar dan sesekali berhenti menghisap susu dari botolnya. Tak ada
yang sanggup menghentikan kecuali dirinya sendiri saat sudah merasa kelelahan. Peet tetap terlihat kuat, meski mungkin tiap sentuhan adalah
menyakitkan. Keahliannya adalah menyembunyikan keluh dan rasa sakit bahkan ketika
tubuhnya menolak untuk terus menjadi kuat. Ia menggigil, meriang, kadang
kejang-kejang. Tetap tak sedikitpun ia menangis. Mungkin air matanya disalurkan
melalui mata ibunya, menetes deras dari mata iba ibunya.
Masa depan? Entahlah. Baginya bisa bertahan dan tetap kuat
saja sudah luar biasa. Sudah merupakan pencapaian maksimal ketika ia mampu
menyelesaikan level terakhir di
seluruh permainan di game watch
kecilnya yang kakaknya bahkan sudah (sengaja) menyerah di level tiga. Tidur dan makan teratur baginya, sudah mampu
menciptakan surga kecil bagi keluarga. Menjadi kuat adalah pilihannya, seberat
dan sekuat apapun dunia coba melemahkannya.
Stay strong, Peet! and
the world will also be strong.
#PeopleAroundUs Day 7
sebenarnya apa yg sedang terjadi terhadap peet, mbak?
BalasHapusPeet dilahirkan sebagai seorang autis. Yang jarang sekali berbicara bahkan ketika dia sedang sakit. Jadi kadang keluarganya susah mengetahui apa yang dirasakan Peet.
BalasHapus